Dalam
proses pembentukan apapun, memulai adalah sesuatu yang lebih sulit dari tahapan
berikutnya. Anggapan ini tak jauh beda dari sebuah proses pembelajaran dalam
memainkan gambelan-gambelan di Bali. Ketika orang-orang terpukau menyaksikan
sebuah pentas seni atau konser karawitan, rata-rata mereka hanyut dalam
kekaguman oleh penampilan dan keterampilan mereka (penabuh). Namun sujatinya,
untuk dapat tampil memukau, para pemukul gambelan itu juga memulainya dari
proses yang cukup panjang. Dari muruk megambel (belajar memainkan
gamelan) kemudian muruk nabuh (belajar komposisi lagu), hingga akhirnya
tampil wah…
Megambel berarti
memukul gambelan. Proses ini barangkali sebuah awal dari pembelajaran diatas.
Dimana proses pembelajaran itu dimulai benar-benar dari nol besar. Artinya penguruk
(guru) gamelan itu benar-benar mengajar muridnya dari tidak tahu sama sekali
menjadi tahu. Katakanlah cara memegang panggul (alat pukul), pengenalan
nada gamelan, tehnik memukul dan tetekep(pengaturan panjang-pendek
nada), sikap serta pengetahuan dasar lainnya. Tentu telah terbayang bagaimana
proses itu. Bila sanggar sebagai medianya, tentu proses ini dikemas
profesional. Bagainama bila proses ini terwujud di balai banjar-balai banjar,
tentu tak jauh dari cerita suka, duka dan terkadang lucu. Terutama interaksi
antara penguruk (guru) dan murid. Terlebih obyeknya adalah anak-anak.
Syukur murid itu berbakat kearah itu. Bila tidak, kesabaran penguruk
(guru) sering digoyang emosi. Bagi penguruk yang cukup sabar tentu emosi
sesaat dialihkan. Ada yang jeda sesaat untuk bermain bola dengan anak didiknya,
untuk kemudian dilanjutkan belajar lagi.
Namun tak jarang penguruk guru) megambel, tak kuasa
menahan emosi, hingga terwujud dalam laku dan kata terhadap anak didiknya.
Kadang ucapan-ucapan emosi penguruk terdengar lucu. Misal yang sering terdengar
dalam situasi belajar megambel di desa-desa. Nyak be cai pianak I Dadag (kamu
persis seperti ayahmumu pak Dadag), Cai ngelen-ngelen dogen jubel alih mu (kamu
nggak konsen cari saja jubel /sejenis serangga air di sawah), liman
caine kiladin bojog (tanganmu kaku habis dikentuti kera), dan sebagainya.
Namun anehnya mereka murid dan orang tuanya tak pernah memasalahkan. Maklum
para penguruk (guru) di desa-desa, biasanya mereka para relawan yang karena
predikat dan profesinya itu, punya posisi sosial dalam masyarakat.
Kini
adegan-agegan lucu terkadang keras dalam proses ngurukan (mengajar) kian
berkurang, tentunya karena telah banyaknya relawan professional, yang mau
terjun ke masyarakat untuk ngurukang megambel. Tapi apapun adanya itulah
proses awal mencetak anak-anak bisa megambel, yang kemudian dilanjutkan
pada tahapan berikutnya, mempraktekkannya dalam sebuah gending atau tabuh.
Tahapan ini mungkin tepat disebut muruk nabuh (belajar komposisi lagu).
Bila semua ini telah terlewati niscaya mereka jadi penabuh-penabuh handal.
Namun yang perlu diingat, para penguruk megambel, yang nota bena mereka
sebagian besar penabuh alam, jangan sampai terlupakan ketika anak didik mereka
telah menjadi penabuh – penabuh (pemain gamelan) mumpuni. Iba
Jenis – Jenis Gamelan Bali yang sering di pentaskan di Bali:
1. Gong Kebyar
Asal Mula Terbentuknya Gamelan Gong Kebyar
Gamelan adalah sebuah orkestra Bali yang terdiri dari bermacam-macam instrumen seperti : gong, kempur, reyong, terompong, ceng-ceng, kendang, suling, gangsa dan rebab yang mempunyai laras selendro dan pelog.
Dapat dipahami bahwa hidupnya seni karawitan Bali di tengah-tengah masyarakat telah luluh berefleksi dengan aktivitas kehidupan masyarakat sehari-hari dalam struktur masyarakat yang bervariasi baik dalam kegiatan keagamaan maupun adat/tradisi. Kenyataan ini nampak dengan jelas karena karawitan Bali muncul dalam nafasnya yang murni, memiliki identitas dan kekhasan yang masih didukung oleh sistem kehidupan masyarakat Bali.
Karawitan Bali menjadi suatu kebanggaan, mengingat banyaknya pengakuan dari berbagai negara di dunia yang menempatkan karawitan Bali dalam kategori yang baik. Pujian seperti ini tidak perlu diragukan lagi terbukti dengan adanya peminat-peminat seni dari berbagai negara datang ke Bali untuk mempelajari karawitan Bali, baik dari segi teori maupun praktek.
Di Bali sendiri terdapat kurang lebih 26 jenis gamelan yang masing-masing memiliki kelengkapan bebarungan dengan fungsi yang berbeda dan jumlahnya semakin bertambah, salah satu diantaranya yaitu Gong Kebyar. Gong Kebyar belakangan ini masih terus menjadi suatu karya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, perorangan maupun kelompok. Sebagai suatu bentuk kesenian yang usianya relatif muda, gong kebyar berkembang sangat pesat dan merupakan suatu jenis karawitan Bali yang paling populer bahkan sampai keluar dari daerah Bali. Di Bali sendiri hampir setiap desa memiliki gamelan gong kebyar, dan gong kebyar telah banyak mempengaruhi jenis-jenis kesenian Bali yang lain, tidak hanya dalam bentuk seni karawitan namun juga dalam bentuk seni tari yang dibawakan dalam bentuk sendratari.
Gong Kebyar adalah barungan gamelan Bali sebagai perkembangan terakhir dari Gong Gede, memakai laras pelog lima nada yang awal mulanya tidak mempergunakan instrumen terompong. Selanjutnya Gong Kebyar dapat diartikan suatu barungan gamelan gong yang didalam permainannya sangat mengutamakan kekompakan suara, dinamika, melodi dan tempo. Ketrampilan mengolah melodi dengan berbagai variasi permainan dinamika yang dinamis dan permainan tempo yang diatur sedemikian rupa serta didukung oleh teknik permainan yang cukup tinggi sehingga dapat membedakan style Gong Kebyar yang satu dengan yang lainnya.
Untuk mengungkapkan asal mula Gong Kebyar memang merupakan suatu tugas yang tidak begitu mudah. Sebelum munculnya Gong Kebyar di Bali, jenis-jenis gamelan yang telah ada hanyalah sebagian besar berupa gamelan gong gede, gong luwang, gong beri, gamelan pelegongan dan lain-lainnya. Keadaan ini berlangsung sampai terjadinya perang Puputan Badung tahun 1906. Bapak I Nyoman Rembang seorang tokoh Gong Kebyar asal Sesetan Denpasar mengatakan bahwa lagu-lagu kebyar pertama-tama diciptakan oleh I Gusti Nyoman Panji di Desa Bungkulan pada tahun 1914. Kemudian menyebar ke desa-desa lainnya di Bali utara dan lagu-lagu ini dicoba untuk ditarikan oleh Ngakan Kuta yang berdomisili di Desa Bungkulan.
Berdasarkan uraian diatas bahwa dapat disimpulkan pada tahun 1914 Gong Kebyar yang muncul penuh dengan pembaharuan namun tetap berpegang pada tradisi yang ada yaitu seperti gong gede. Beberapa pendapat seniman gong kebyar mengatakan bahwa Gong Kebyar merupakan perkembangan dari gong gede yang banyak dipengaruhi oleh pelegongan yakni dengan masuknya unsur “otek-otekan” dalam Gong Kebyar.
Kendang
Terompong
Ugal
Gangsa
Kantil
Kajar
suling
Ceng-ceng
Calung
Jegogan
Gong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar